Oleh:Harmain Rusli S.H
Di panggung kekuasaan, tampak seseorang berdiri gagah dengan jubah putih di pundaknya. Ia ingin tampak suci, seolah setiap keputusannya lahir dari niat yang murni. Namun di balik jubah itu, rapuh terselip: ketakutan kehilangan kendali, kekhawatiran akan hilangnya gengsi, dan kegelisahan karena bayang-bayang kebenaran yang tak bisa dibungkam.
Jubah putih itu kini menjadi simbol paradoks. Ia melambangkan kemurnian, tapi juga menyembunyikan cacat. Ia menutupi luka moral, namun tak mampu menutupi retakan nurani. Kekuasaan yang mestinya menjadi ladang pengabdian, justru menjelma ruang untuk mempertahankan diri dari kejujuran dan tanggung jawab.
Kekuasaan dan Ilusi Kesucian
Di banyak ruang pemerintahan, kekuasaan sering kali diperlakukan layaknya anugerah , tak tersentuh kritik, tak boleh dipertanyakan.
Padahal kekuasaan, tanpa koreksi dan kejujuran, hanyalah bayangan yang menipu pandang. Ia tampak besar di mata rakyat, tapi sebenarnya kosong di dalamnya.
Yang tersisa hanyalah kepura-puraan: keputusan diambil bukan karena benar, melainkan karena takut kehilangan kuasa.
Jubah putih yang dikenakan para pemegang mandat rakyat seharusnya menjadi simbol integritas. Namun ketika ia dipakai untuk menutupi dosa administrasi, pelanggaran hukum, atau kebijakan yang menyimpang, maka warna putih itu berubah menjadi abu-abu — kabur antara moral dan ambisi.
Rapuh Tapi Dipertahankan
Begitulah wajah sebagian kekuasaan hari ini: rapuh, tapi terus dipertahankan dengan segala cara.
Ketika hukum menegur, kekuasaan mencari tafsir.
Ketika rakyat bersuara, ia menutup telinga dengan kesibukan protokoler.
Dan ketika nurani berbisik di malam hari, ia menutup mata dengan dalih “stabilitas pemerintahan”.
Namun kekuasaan yang rapuh tak akan bertahan lama. Ia seperti dinding lembab yang tampak kokoh, tapi pelan-pelan retak dari dalam.
Seberapa kuat pun jubah putih itu direntangkan, ia tak mampu menahan bobot kesalahan yang disembunyikan.
Keadilan yang Menunggu
Di ujung jalan, keadilan selalu menunggu dengan sabar. Ia mungkin tak berteriak, tapi langkahnya pasti.
Sebab hukum bukan milik penguasa — ia milik nurani kolektif, milik mereka yang menolak tunduk pada kebohongan.
Dan ketika keadilan akhirnya tiba, jubah putih itu akan terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan siapa yang benar-benar berani menanggung kebenaran, dan siapa yang hanya bersembunyi di balik simbol suci kekuasaan.
Penutup
Kekuasaan sejati tidak memerlukan jubah untuk tampak mulia, sebab kemuliaan lahir dari keberanian menjaga amanah.
Dan bagi mereka yang masih bertahan di balik jubah putih kekuasaan yang rapuh, ingatlah: waktu adalah hakim paling adil, dan sejarah adalah catatan yang tak bisa disuap.
(Red:Rubrikmalut.com)

