Oleh: Maulana Patra Syah, Founder Bapatikamang.
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan redaksi Rubrikmalut.com
Setelah seluruh pidato usai dan semua rencana besar di atas kertas telah tersusun, seorang lelaki hebat, entah dia seorang filsuf yang mengubah peradaban atau seorang pemimpin yang memerdekakan bangsanya, akan selalu dihadapkan pada satu kesadaran yang sangat mendasar: ia menyadari bahwa seorang lelaki tanpa seorang perempuan yang mendampingi adalah sebatang pohon tanpa buah dan daun, dan sebongkah tubuh tanpa jiwa
Inilah titik tolak kita memahami kekuatan luar biasa dari perempuan. Kekuatan yang tak terukur oleh logika atau teori politik, tetapi diukur dengan ketulusan hati.
Dalam bahasa kita, kata Perempuan berakar dari kata Empu, yang bermakna seseorang yang menempa, membentuk, mulia, dan mengasihi. Tugas lelaki adalah membangun ideologi; tugas perempuan, sebagai Sang Empu, adalah menempa karakter dan jiwa agar bangunan ideologi itu memiliki fondasi yang tak tergoyahkan.
Kisah-kisah besar tentang perjuangan politik sering kali menempatkan peran perempuan pada bayangan, tetapi sesungguhnya, mereka adalah suluh yang menjaga api tetap menyala di ruang paling gelap. Kami berbicara tentang Theresa Levasseur, Kasturba Gandhi, dan Inggita Garnasih.
Lihatlah Theresa, istri dari filsuf Pencerahan, Jean-Jacques Rousseau. Selama Rousseau sibuk dengan idealisme tentang kebebasan, Theresa adalah pelayan dan tukang cuci yang menyediakan dukungan material dan perawatan yang konsisten seumur hidupnya. Tangan yang merawat kebutuhan dasar Sang Filsuf inilah yang menjadi pewaris tunggal manuskrip dan hak cipta dari semua ide besarnya. Theresa tidak menyumbangkan teori Revolusi Prancis, tetapi ia memastikan agar nyawa Sang Teori itu tetap hidup.
Di India, Kasturba Gandhi menunjukkan bentuk penempaan yang paling berani. Ia tidak menyumbangkan teori untuk Revolusi India, namun ia memilih untuk mempraktikkan pengorbanan di level tertinggi. Ketika hukum kolonial merendahkan martabat perempuan India, Kasturba adalah yang pertama mengajukan diri untuk dipenjara dan menjalani kerja paksa. Dengan penderitaan sunyi yang ia jalani, ia membuktikan kepada dunia, dan kepada suaminya, bahwa non-kekerasan bukanlah sekadar konsep, melainkan prinsip hidup yang nyata. Kasih sayangnya menempa Mohandas Gandhi menjadi seorang Mahatma.
Di Nusantara, Inggit Garnasih adalah penyangga sejati. Selama dua puluh tahun, ia mendampingi Soekarno melewati pahitnya penjara dan pengasingan. Perannya sangat nyata dan bersentuhan langsung dengan materi: ia menjual asetnya, berdagang—bahkan menjual bedak—untuk menopang hidup dan perjuangan mereka. Di balik jeruji, ia adalah kurir rahasia yang menyelundupkan naskah-naskah penting yang digunakan Soekarno untuk menulis pledoi revolusioner Indonesia Menggugat. Inggit membuktikan bahwa materi domestik yang paling sederhana pun bisa menjadi pembiaya bagi ideologi yang mengubah nasib sebuah bangsa.
Mereka, Theresa, Kasturbay, dan Inggit, memiliki satu kesamaan mulia: mereka berbakti pada bangsanya. Mereka mewujudkan bakti itu bukan melalui mimbar, melainkan dengan menunjukan kasih sayang dan kesetian tiada goyah kepada suami yang sedang mengalami cobaan dan deritaan dalam perjuangan.
Pengakuan Bung Karno sendiri menjadi penutup yang mengharukan bagi esai ini: memang benar, Inggit tidaklah hanya sebagai seorang istri, tetapi juga sebagai seorang ibu, kekasih, dan kawan. Peran Sang Empu ini melampaui segala gelar dan jabatan.
Kekuatan terbesar seorang perempuan bukan pada seberapa lantang suaranya, melainkan pada seberapa kuat hatinya menempa, merawat, dan menjaga jiwa perjuangan pasangannya. Kasih sayang dan kesetiaan yang tak tergoyahkan adalah energi revolusioner yang sesungguhnya.

